ASWAJA
Pengertian dan Sejarah
Ahlus
Sunnah Wal Jamaah (ASWAJA) sebagian pendapat bercanda kalau tidak mau disebut
serius tapi santai memaknai “asal wajar- wajar saja” merupakan suatu aliran
kelompok dari berbagai ranah. Umumnya dalam ranah Fiqih
merujuk kepada Imam empat, Maliki, Hanafi Syafii dan Hambali. Dalam ranah aqidah kepada Abu Hasan al-
Asy’ari dan Abu Mansur al- Maturidi.
Sedangkan pada ranah tasawuf kepada Imam Junaidi al- Baghdady dan Imam abu
Hamid al- Ghozali.
Aswaja dalam pengertian lebih lanjut
dimaknai sebagai sebuah aliran yang mengklaimkan diri sebagai kelompok penerus,
pembela dan pelestari ajaran sunnah rasul Muhammad Saw, dengan terus memperhatikan
rentetan sanad sampai masa tabiit- tabiin dan seterusnya.
Dalam kajian Islam dunia aswaja menjadi kelompok yang dikenal dengan kaum sunny
selain dua kelompok lainya yang terkenal, yaitu syi’ah dan wahaby.
Dalam konteks ke- Indonesiaan Ahlussunah
wal Jamaah berbarengan dengan berkembangnya Islam di Indonesia yang dibawa oleh
para walisongo yang sangat berpengaruh dalam memantapkan eksistensi Ahlussunnah
wal Jamaah meskipun masih dalam bentuk ajaran-ajaran yang sifatnya tidak
dilembagakan dalam suatu wadah organisasi mengingat ketika itu belum berkembang
organisasi dan sosiologi masyarakat. Dalam konteks ini sswaja lebih dipahami
sebagai sebuah manhaj, cara berfikir dan bukan sebagai madzhab secara mutlaq[1].
Pelembagaan
ajaran Ahlussunah wal Jama’ah di Indonesia dengan karakter yang khas terjadi
setelah didirikannya Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1926. NU adalah sebagai
satu-satunya organisasi keagamaan yang secara formal dan normatif menempatkan
Ahlussunnah wal Jamaah sebagai paham keagamaan yang dianut. KH. M. Hasyim
Asy'ari sebagai salah seorang pendiri NU, telah merumuskan konsep Ahlussunnah
wal Jama’ah dalam kitab al-Qânûn al-Asâsiy li Jamiiyyah Nahdlah al-Ulamâ yang
berisi dua bagian pokok, yaitu:
- Risalah Ahlussunnah wal Jamaah, yang memuat tentang kategorisasi sunnah dan bidah dan penyebarannya di pulau Jawa.
- Keharusan mengikuti mazhab empat, karena hidup bermazahab lebih menyatukan kebenaran, lebih dekat untuk merenungkan, lebih mengarah pada ketelitian, dan lebih mudah dijangkau sebagaimana dilakukan oleh salafunâ al-shâlih.
Sehingga
model penalaran yang berkembang dalam aswaja seperti ini meniscayakan selalu bisa adaptasi dengan
segala situasi dan kondisi.[2]
Kondisi Keberagamaan Umat
Aswaja
(Ahlussunnah wal Jamaah) adalah satu di antara banyak aliran dan sekte yang
bermuculan dalam tubuh Islam. Di antara semua aliran, kiranya aswajalah yang
punya banyak pengikut, bahkan paling banyak di antara semua sekte. Hingga dapat
dikatakan, Aswaja memegang peran sentral dalam perkembangan pemikiran keislaman.
Aswaja
tidak muncul dari ruang hampa melainkan ada kondisi sosiologis tertentu. Ada banyak hal yang
mempengaruhi proses kelahirannya dari rahim sejarah. Di antaranya yang cukup
populer adalah tingginya suhu konstelasi politik yang terjadi pada masa pasca
Nabi wafat. Kematian Utsman bin Affan, khalifah ke-3, menyulut berbagai reaksi.
Utamanya, karena ia terbunuh, tidak dalam peperangan. Hal ini memantik semangat
banyak kalangan untuk menuntut Imam Ali KW, pengganti Utsman untuk bertanggung
jawab. Terlebih, sang pembunuh, yang ternyata masih berhubungan darah dengan
Ali, tidak segera mendapat hukuman setimpal.
Muawiyah
bin Abu Sofyan, Aisyah, dan Abdulah bin Thalhah, serta Amr bin Ash adalah
beberapa di antara sekian banyak sahabat yang getol menuntut Ali KW. Bahkan,
semuanya harus menghadapi Ali dalam sejumlah peperangan yang kesemuanya
dimenangkan pihak Ali. Dan yang paling mengejutkan, adalah strategi Amr bin Ash
dalam perang Shiffin di tepi sungai Eufrat, akhir tahun 39 H, dengan mengangkat
mushaf di atas tombak. Tindakan ini dilakukan setelah pasukan Amr dan Muawiyah
terdesak. Tujuannya, hendak mengembalikan segala perselisihan kepada hukum
Allah. Dan Ali setuju, meski banyak pengikutnya yang tidak puas.
Akhirnya,
tahkim (arbritase) di Daumatul Jandal, sebuah desa di tepi Laut Merah beberapa
puluh km utara Makkah, menjadi akar perpecahan pendukung Ali menjadi Khawarij
dan Syi’ah. Kian lengkaplah perseteruan yang terjadi antara kelompok Ali,
kelompok Khawarij, kelompok Muawiyah, dan sisa-sisa pengikut Aisyah dan
Abdullah ibn Thalhah.
Ternyata,
perseteruan politik ini membawa efek yang cukup besar dalam ajaran Islam. Hal
ini terjadi tatkala banyak kalangan menunggangi teks-teks untuk kepentingan
politis. Celakanya, kepentingan ini begitu jelas terbaca oleh publik. Terlebih
masa Yazid bin Muawiyah.
Yazid, waktu itu, mencoreng muka dinasti Umaiyah. Dengan sengaja, ia memerintahkan pembantaian Husein bin Ali beserta 70-an anggota keluarganya di Karbala, dekat kota Kufah, Iraq. Parahnya lagi, kepala Husein dipenggal dan diarak menuju Damaskus, pusat pemerintahan dinasti Umaiyah.
Yazid, waktu itu, mencoreng muka dinasti Umaiyah. Dengan sengaja, ia memerintahkan pembantaian Husein bin Ali beserta 70-an anggota keluarganya di Karbala, dekat kota Kufah, Iraq. Parahnya lagi, kepala Husein dipenggal dan diarak menuju Damaskus, pusat pemerintahan dinasti Umaiyah.
Bagaimanapun
juga, Husein adalah cucu Nabi yang dicintai umat Islam. Karenanya, kemarahan
umat tak terbendung. Kekecewaan ini begitu menggejala dan mengancam stabilitas
Dinasti. Akhirnya, dinasti Umaiyah merestui hadirnya paham Jabariyah. Ajaran
Jabariyah menyatakan bahwa manusia tidak punya kekuasaan sama sekali. Manusia
tunduk pada takdir yang telah digariskan Tuhan, tanpa bisa merubah. Opini ini
ditujukan untuk menyatakan bahwa pembantaian itu memang telah digariskan Tuhan
tanpa bisa dicegah oleh siapapun juga.
Nah,
beberapa kalangan yang menolak opini itu akhirnya membentuk second opinion
(opini rivalis) dengan mengelompokkan diri ke sekte Qadariyah. Jelasnya, paham
ini menjadi anti tesis bagi paham Jabariyah. Qadariyah menyatakan bahwa manusia
punya free will (kemampuan) untuk melakukan segalanya. Dan Tuhan hanya menjadi
penonton dan hakim di akhirat kelak. Karenanya, pembantaian itu adalah murni
kesalahan manusia yang karenanya harus dipertanggungjawabkan, di dunia dan
akhirat.
Mayoritas
umat Islam mengalami hal yang sama. Karena tidak mau terlarut dalam perdebatan
yang tak berkesudahan, mereka menarik diri dari perdebatan. Mereka memasrahkan
semua urusan dan perilaku manusia pada Tuhan di akhirat kelak. Mereka menamakan
diri Murji’ah.
Lambat
laun, kelompok ini mendapatkan sambutan yang luar biasa. Terebih karena
pandangannya yang apriori terhadap dunia politik. Karenanya, pihak kerajaan
membiarkan ajaran semacam ini, hingga akhirnya menjadi sedemikian besar. Di
antara para sahabat yang turut dalam kelompok ini adalah Abu Hurayrah, Abu
Bakrah, Abdullah Ibn Umar, dan sebagainya. Mereka adalah sahabat yang punya
banyak pengaruh di daerahnya masing-masing.
Pada
tataran selanjutnya, dapatlah dikatakan bahwa Murjiah adalah cikal bakal Sunni
(proto sunni). Karena banyaknya umat islam yang juga merasakan hal senada, maka
mereka mulai mengelompokkan diri ke dalam suatu kelompok tersendiri. Lantas,
melihat parahnya polarisasi yang ada di kalangan umat islam, akhirnya ulama
mempopulerkan beberapa hadits yang mendorong umat Islam untuk bersatu. Tercatat
ada 3 hadits (dua diriwayatkan oleh Imam Turmudzi dan satu oleh Imam Tabrani).
Dalam hadits ini diceritakan bahwa umat Yahudi akan terpecah ke dalam 71
golongan, Nasrani menjadi 72 golongan, dan Islam dalam 73 golongan. Semua
golongan umat islam itu masuk neraka kecuali satu. "Siapa mereka itu,
Rasul?" tanya sahabat. "Mâ ana Alaihi wa Ashâby," jawab Rasul.
Bahkan dalam hadist riwayat Thabrani, secara eksplisit dinyatakan bahwa
golongan itu adalah Ahlussunnah wal Jamaah.
Ungkapan
Nabi itu lantas menjadi aksioma umum. Sejak saat itulah kata aswaja atau Sunni
menjadi sedemikian populer di kalangan umat Islam. Bila sudah demikian, bisa
dipastikan, tak akan ada penganut Aswaja yang berani mempersoalkan sebutan,
serta hadits yang digunakan justifikasi, kendati banyak terdapat kerancuan di
dalamnya. Karena jika diperhatikan lebih lanjut, hadits itu bertentangan dengan
beberapa ayat tentang kemanusiaan Muhammad, bukan peramal.
Lantas,
sekarang mari kita dudukkan aswaja dalam sebuah tempat yang nyaman. Lalu mari
kita pandang ia dari berbagai sudut. Dan di antara sekian sudut pandang, satu
di antaranya, yakni aswaja sebagai mazhab (doktrin-ideologi), diakui dan
dianggap benar oleh publik. Sementara, ada satu pandangan yang kiranya bisa
digunakan untuk memandang aswaja secara lebih jernih, yakni memahami aswaja
sebagai manhaj. Mari kita diskusikan.
Konsep dasar Aswaja (Teologi)
Perkembangan Pemikiran Aswaja
Selama
ini yang kita ketahui tentang ahlusunnah waljama’ah adalah madzhab yang dalam
masalah aqidah mengikuti imam Abu Musa Al Asyari dan Abu Mansur Al Maturidi.
Dalam praktek peribadatan mengikuti salah satu madzhab empat, dan dalam
bertawasuf mengikuti imam Abu Qosim Al Junandi dan imam Abu khamid Al Gozali.
Ahlusunnah
tidak bisa terlepas dari kultur bangsa arab “tempat islam tumbuh dan berkembang
untuk pertama kali”. Seperti kita ketahui bersama, bangsa arab adalah bangsa
yang terdiri dari beraneka ragam suku dan kabilah yang biasa hidup secara
peduli. Dari watak alami dan karakteristik daerahnya yang sebagai besar padang pasir watak orang
arab sulit bersatu dan bahkan ada titik kesatuan diantara mereka merupakan
sesuatu yang hampir mustahil. Di tengah-tengah kondisi bangsa yang demikian
rapuh yang sangat labil persatuan dan kebersamaannya, Rosulullah diutus membawa
Islam dengan misi yang sangat menekankan ukhuwah, persamaan dan persaudaraan
manusia atas dasar idiologi atau iman. Selama 23 tahun dengan segala kehebatan,
kharisma, dan kebesaran yang dimilikinya, Rosulullah mampu meredam kefanatikan
qobilah menjadi kefanatikan agama (ghiroh islamiyah). Jelasnya Rosulullah mampu
membangun persatuan, persaudaraan, ukhuwah dan kesejajaran martabat dan fitrah manusia.
Namun dasar watak alami bangsa arab yang sulit bersatu, setelah Rosulullah
meninggal dan bahkan jasad beliau belum dikebumikan benih-benih perpecahan,
gendrang perselisihan sudah mulai terdengar, terutama dalam menyikapi siapa
figure yang tepat mengganti Rosulullah ( peristiwa bani saqifah)[3].
Perselisihan
internal dikalangan umat Islam ini, secara sistematis dan periodik terus
berlanjut pasca meninggalnya Rosulullah, yang akhirnya komoditi perpecahan
menjadi sangat beragam. Ada
karena masalah politik dikemas rapi seakan-akan masalah agama, dan aja juga
masalah-masalah agama dijadikan legitimasi untuk mencapai ambisi politik dan
kekuasaan.
Unsur-unsur perpecahan dikalangan internal umat Islam merupakan potensi yang sewaktu-waktu bisa meledak sebagai bom waktu, bukti ini semakin nampak dengan diangkatnya Usman Bin Affan sebagai kholifah pengganti Umar bin Khottob oleh tim formatur yang dibentuk oleh Umar menjelang meninggalnya beliau, yang mau tidak mau menyisahkan kekecewaan politik bagi pendukung Ali waktu itu. Fakta kelabu ini ternyata menjadi tragedy besar dalam sejarah umat Islam yaitu dengan dibunuhnya Kholifah Usman oleh putra Abu Bakar yang bernama Muhammad bin Abu Bakar. Peristiwa ini yang menjadi latar belakang terjadinya perang Jamal antara Siti Aisyah dan Sayidina Ali. Dan berikut keadaan semakin kacau balau dan situasi politik semakin tidak menentu, sehingga dikalangan internal umat Islam mulai terpecah menjadi firqoh-firqoh seperti Qodariyah, Jabbariyah Mu’tazilah dan kemudian lahirlah Ahlus sunah. Melihat rentetan latar belakang sejarah yang mengiringi lahirnya Aswaja, dapat ditarik garis kesimpulan bahwa lahirnya Aswaja tidak bisa terlepas dari latar belakang politik.
Unsur-unsur perpecahan dikalangan internal umat Islam merupakan potensi yang sewaktu-waktu bisa meledak sebagai bom waktu, bukti ini semakin nampak dengan diangkatnya Usman Bin Affan sebagai kholifah pengganti Umar bin Khottob oleh tim formatur yang dibentuk oleh Umar menjelang meninggalnya beliau, yang mau tidak mau menyisahkan kekecewaan politik bagi pendukung Ali waktu itu. Fakta kelabu ini ternyata menjadi tragedy besar dalam sejarah umat Islam yaitu dengan dibunuhnya Kholifah Usman oleh putra Abu Bakar yang bernama Muhammad bin Abu Bakar. Peristiwa ini yang menjadi latar belakang terjadinya perang Jamal antara Siti Aisyah dan Sayidina Ali. Dan berikut keadaan semakin kacau balau dan situasi politik semakin tidak menentu, sehingga dikalangan internal umat Islam mulai terpecah menjadi firqoh-firqoh seperti Qodariyah, Jabbariyah Mu’tazilah dan kemudian lahirlah Ahlus sunah. Melihat rentetan latar belakang sejarah yang mengiringi lahirnya Aswaja, dapat ditarik garis kesimpulan bahwa lahirnya Aswaja tidak bisa terlepas dari latar belakang politik.
Simpulan
Dari
maksud diatas, konsep dasar aswaja meliputi cara berdzikir, berfikir dan
beramal sholeh yang berpijak dari tiga ranah penting, 1. Islam, fiqh/ syariah,
2. Iman, Aqidah/ theologies, 3. Ihsan, Tasawuf. Perkembangan selanjutnya
tergantung kemampuan ijtihad manusia sesuai dengan pembidangan ilmu masing-
masing yang melahirkan pencerahan untuk umat, manusia serta alam semesta,
sebagai rahmatan lil alamin.
[1]
Lihat, Djohan Efendi, Pembaharuan Tanpa Membongkar Tradisi: Wacana Keagamaan
di Kalangan Generas Muda NU masa Kepemimipinan Gus Dur
[2]
Lihat, Said Aqil Siroj, Tasauf
Sebagai Kritik Social, Mengedepankan Islam Sebagai Inspirasi Bukan Aspirasi, Pustaka Ciganjur, Jakarta
[3]
Lihat, http://pmiiug.blogspot.com/2010/04/sejarah-aswaja.html,
diakses 13 Desember 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar