Rabu, 27 Juni 2012


Add caption
Hukum yang berada di Indonesia

Sejak dulu hukum yang berlaku di Indonesia sudah sangat baik, berbagai amandemen sudah ditetapkan, bahkan sanksi – sanksi sudah jelas tertulis dalam undang – undang yang berlaku, hanya saja oknum – oknum indonesia yang menyalahgunakan hukum di indonesia. Pejabat – pejabat negara banyak yang melanggar undang – undang, dan saat ini hukum dapat di beli dengan uang, sehingga menyebabkan indonesia terjadi inflasi hukum. Saat pejabat negara  mengambil uang rakyat tanpa mengembalikannya atau sering disebut mengorupsi uang rakyat, maka pejabat tersebut dapat bibebaskan tanpa syarat dan tidak diketahui penyebabnya, sedangkan ada rakyat kecil yang mencuri mangga, ia harus melalui proses hukum dan masuk sel tahanan minimal tujuh tahun, masih di tambah dengan denda yang tidak sedikit jumlahnya, dalam hal tersebut darimanakah kemampuan rakyat kecil membayar denda, apakah keluarganya sanggup untuk membayarnya, sedangkan dirinya berada di dalam penjara. Dalam hal hukum memang Indonesia sangat berkaitan dengan moral, tetapi tindakpidana tidak bisa dikaitkan dengan moral, karena moral merupakan tindakan yang subyektif, sedangkan hukum merupakan tindakan yang obyektif. Hukum berlaku bagi siapa saja meskipun yang melanggar adalah seorang pejabat, presiden, polisi, maupun rakyat kecil. Di zaman sekarang ini bisa dikatakan bahwa hukum di Indonesia mulai tidak adil, dikarenakan penempatan hukuman pada tindakpidana yang tidak sesuai dengan undang-undang yang telah ditetapkan.
Hukum merupakan sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum pidana yang berupayakan cara negara dapat menuntut pelaku dalam konstitusi hukum menyediakan kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan dimana mereka yang akan dipilih. Administratif hukum digunakan untuk meninjau kembali keputusan dari pemerintah, sementara hukum internasional mengatur persoalan antara berdaulat negara dalam kegiatan mulai dari perdagangan lingkungan peraturan atau tindakan militer. Filsuf Aristotle menyatakan bahwa "Sebuah supremasi hukum akan jauh lebih baik dari pada dibandingkan dengan peraturan tirani yang merajalela."­
Positivisme hukum berpandangan bahwa hukum itu harus dapat dilihat dalam ketentuan undang-undang, karena hanya dengan itulah ketentuan hukum itu dapat diverifikasi. Adapun yang di luar undang-undang tidak dapat dimasukkan sebagai hukum karena hal itu berada di luar hukum. Moral hanya dapat diterima dalam sistem hukum apabila diakui dan disahkan oleh otoritas yang berkuasa dengan memberlakukannya sebagai hukum. Sitem hukum adalah sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup dimana keputusan-keputusan hukum yang benar atau tepat biasanya dapat diperoleh dengan alat-alat logika dari peraturan-peraturan hukum yang telah ditentukan sebelumnya tanpa memperhatikan tujuan-tujuan sosial, politik dan ukuran-ukuran moral.
Dengan demikian kita dapat mengatakan, karena negara merupakan forum kekuatan-kekuatan politik yang ada didalam masyarakat, maka hukum adalah hasil sebagian pembentukan keputusan yang diambil dengan cara yang tidak langsung oleh penguasa. Penguasa mempunyai tugas untuk mengatur dengan cara-cara umum untuk mengatasi masalah-masalah kemasyarakatan yang serba luas dan rumit, pengaturan ini merupakan obyek proses pengambilan keputusan politik, yang dituangkan kedalam aturan-aturan, yang secara formal diundangkan. Jadi dengan demikian hukum adalah hasil resmi pembentukan keputusan politik. Ajaran murni tentang hukum adalah suatu teori tentang hukum yang sebenaranya dan tidak mempersoalkan hukum yang sebenarnya itu, yaitu apakah hukum yang sebenarnya itu adil atau tidak adil. Seringkali para oknum memperbesarkan masalah-masalah yang kurang begitu penting bagi negara, mereka lebih mementingkan sesuatu yang menyangkut diri pribadi daripada masalah negara. Sedangkan masalah yang sangat penting hingga menyangkut kehidupan rakyat kecil, para oknum seringkali meremehkan hal tersebut.
Berbagai kelompok kepentingan yang dijamin dan diakui keberadaan dan perannya menurut ketentuan hukum sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, seperti kalangan pengusaha, tokoh ilmuan, kelompok organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, tokoh agama, lembaga swadaya masyarakat dan lain-lain. Bahkan UU. R.I. No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Per-Undang-Undangan, dalam Bab. X menegaskan adanya partisipasi masyarakat yaitu yang diatur dalam Pasal 53 : “Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan Rancangan Undang Undang dan Rancangan P eraturan Daerah”. Dengan demikian seharusnya para oknum aparat menyediakan layanan e-mail, nomor televon untuk masyarakat agar masyarakat dapat menyampaikan masukan atau keluhan yang mereka rasakan, di sisi lain para oknum aparat sangat membutuhkan suara atau masukan rakyat untuk menyelesaikan permasalahan hukum yang kurang adil di Indonesia. Sehingga rakyat tidak lagi melakukan demonstrasi, pawai, dan sebagainya untuk mengutarakan pendapat mereka, apakah mereka setuju atau tidak dengan keputusan yang telah ditetapkan para penguasa rakyat. Karena rakyat juga memiliki hak asasi pribadi.
Selama abad pertengahan tolak ukur segala pikiran orang adalah kepercayaan bahwa aturan semesta alam telah ditetapkan oleh Allah Sang Pencipta. Hukum yang dibentuk mendapat akarnya dalam agama, secara langsung atau secara tidak langsung. Pengertian hukum yang berbeda ini ada konsekuensinya dalam pandangan terhadap hukum alam. Karena itu, pada dasarnya pengertian hukum tidak selalu sama dan terus berubah bersama berjalanya waktu dari zaman ke zaman.
Sedangkan konsep negara hukum bagi Indonesia adalah berdasarkan pancasila di mana di dalamnya terdapat hukum Tuhan, dan hukum etika.  Dan juga yang mana di dalam pancasila itu sendiri telah mencakup akan aturan hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama baik dalam hak asasi manusia, maupun keadilan. Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan pancasila namun dalam pelaksanaannya seringkali bukan hukum yang ditegakkan melainkan lebih kepada otoritas dari orang yang berpengaruh dalam negara. Indonesia memiliki hak untuk mencantumkan hukuman mati sebagai salah satu hukuman dalam KUHP, namun taggungjawab sebagai negara hukumlah yang penting untuk diperhatikan.
Seperti diketahui bersama, sejak didirikan pada tanggal 17 Agustus 1945 M/10 Ramadhan 1367 H, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui Undang-Undang Dasarnya menyatakan diri sebagai negara hukum. Sebelum Undang-Undang Dasar 1945 dimandemen, pencantuman Indonesia sebagai negara hukum dijumpai dalam bagian penjelasan yang menyatakan: “Indonesia, ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat).” “Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat) tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Setelah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diamandemen, pernyataan Indonesia sebagai negara hukum termasuk dalam BAB I Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan: “Negara Indonesia adalah negara hukum.”
Permasalahannya sekarang, adakah yang dimaksud dengan kata “hukum” dalam kalimat “Negara Indonesia adalah negara hukum,” itu termasuk di dalamnya hukum tidak terulis ? Ilmu hukum memang mengajarkan kepada kita tentang keberadaan hukum tidak tertulis di samping hukum tertulis. Tetapi dalam kenyataannya, hukum modern tampak lebih mengacu atau bahkan lebih berpihak kepada hukum terutulis (codified law) dibandingkan dengan sekedar pengakuan apalagi keberpihakannya kepada praktek hukum tidak tertulis (uncodified law).
Pada tahun 2005, setidaknya 2.148 orang dieksekusi di 22 negara, termasuk Indonesia. Dari data tersebut 94% praktek hukuman mati hanya dilakukan di empat negara: Iran, Tiongkok, Saudi Arabia, dan Amerika Serikat.
Hingga Juni 2006 hanya 68 negara yang masih menerapkan praktek hukuman mati, termasuk Indonesia, dan lebih dari setengah negara-negara di dunia telah menghapuskan praktek hukuman mati. Ada 88 negara yang telah menghapuskan hukuman mati untuk seluruh kategori kejahatan, 11 negara menghapuskan hukuman mati untuk kategori kejahatan pidana biasa, 30 negara malakukan moratorium (de facto tidak menerapkan) hukuman mati, dan total 129 negara yang melakukan abolisi (penghapusan) terhadap hukuman mati. 
Melalui paper ini, penulis berusaha untuk memaparkan tentang hukuman mati di Indonesia sebagaimana Indonesia adalah negara hukum, dan khususya menyoroti hukuman mati dalam perspektif kekristenan sendiri. Yang mana juga menjadi pro dan kontra dalam sebagian kelompok. Apa yang dituliskan dalam Al-Qur’an tentang hukuman mati, inilah yang juga akan diutarakan penulis dalam paper ini. Seharusnya hanya Allah yang berhak menghukum mati seseorang, apabila seseorang melakukan kesalahan harus malalui proses hukum entah yang melakukan itu dari keluarga konglomerat, oknum aparat, rakyat kecil dan sebagainya.
Melalui paper ini, penulis juga berharap para oknum di Indonesia harus memenuhi syarat – syarat yang seharusnya dapat membawa negara Indonesia pada kemajuan hukum seperti di negara maju lainnya. Karena di Indonesia bukan hukumnya yang salah, tetapi oknum – oknum tidak bertanggung jawab itulah yang menghancurkannya. Jika para oknum aparat memenuhi dan melaksanakan syarat-syarat yang telah ditetapkan undang-undang yang berlaku, maka masalah-masalah yang dihadapi negara Indonesia ini akan segera terselesaikan.


By   : Nurhuda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar